mercoledì 10 settembre 2008

Notes from An Ordinary Girl

Dengan sangat terpaksa mengambil keputusan untuk tidak lagi berhubungan dengan seseorang yang kau cintai? Menyakitkan.... Itu sebabnya mengapa aku terdiam di balik jendela ini... Merenungkan mengapa seseorang tidak bisa lepas dari halaman kehidupanku....

Kalau saja aku tidak ceroboh menyupir. Tepat setahun yang lalu,
aku hampir saja membuat tulang-tulangnya patah. Kara, seorang laki-laki berparas menarik yang digemari banyak perempuan di sekolah ini. Aku menabraknya saat ia sedang menyeberang di depan sekolah. Saat itu seusai sekolah, dan aku biasa mengendarai mobil pulang pergi ke sekolah yang jaraknya cukup melelahkan dari rumah. Dan lelaki ini tepat terpelanting ke kaca mobil depanku. Aku begitu terkejut sehingga menginjak rem secara mendadak.

Untunglah ia langsung bangkit, kemudian berjalan menjauh sembari menatap sinis kepadaku. Kupikir tak ada yang terluka pada dirinya, sebab ia hanya mengelus-elus keningnya yang terbentur kaca mobilku. Namun rasa bersalah masih menghantuiku, maka kubuka kaca jendela mobil dan berteriak padanya,

"Hey! Lo gak apa-apa? Ada yang luka gak?"

Walaupun tatapan sinisnya sudah hilang, bahkan berubah menjadi senyuman, ia hanya menggeleng. Tidak ada kata-kata. Aku menghela nafas cukup panjang.

Satu minggu berlalu. Aku tak menceritakan hal itu pada siapa pun. Termasuk sahabat dan teman-teman dekatku. Kukira mereka akan tertawa dan meneriakkan "Wow!!!", lalu terdiam. Aku tahu yang akan mereka pikirkan tentang itu. Dan semua pikiran buruk menggangguku.

Hingga tiba-tiba aku melihat Kara. Ia sedang main basket saat kulihat dari kaca jendela kelasku. Aku baru tahu dari tadi ku melamun sambil melempar pandangan ke lluar jendela tanpa menghiraukan guru. Dan aku juga baru tahu kalau dia juga bermain basket. Setahuku, Kara seorang pemain klub sepak bola sekolah.

Saat itu aku memperhatikan permainan basketnya yang buruk sekali. Tidak sebanding dengan pemain lainnya. Aku bergumam dalam hati, "Kalau nggak bakat, gak usah main deh!!"

Pulang sekolah hari itu, mood-ku lagi bagus. Sudah melupakan tentang kejadian Kara waktu itu. Didukung oleh cuaca cerah, jalanan mulus, dan tidak macet. Di radio mobilku, tiba-tiba mengalun lagu indah yang sudah lama tak kudengar. Aku sangat menikmatinya.

Mobilku mendekati sebuah perempatan. Tujuanku mengambil jalan lurus. Tidak ke kiri atau kanan. Kulihat lampu lalu lintas masih hijau nyala. Maka aku merasa tak perlu mengurangi kecepatan mobil. Tepat di tengah perempatan itu, tiba-tiba saja meluncur sebuah motor sport dari arah kiri yang berbelok searah denganku. Aku begitu terkejut. Aku mencoba menghindari resiko terburuk dengan membanting stir ke kanan. Untungnya tidak ada mobil dari arah yang berlawanan. Namun sesaat kudengar suara seperti sebuah benda yang terseret di bagian kiri mobilku. Segera saja aku memberi tanda sen kiri, dan memarkirkan mobilku di kiri jalan itu. Melihat mobilku menepi, motor itu ikut minggir.

Setelah kulihat, benar saja, cat mobilku tergores sepanjang kurang lebih 15 cm di atas tempat ban dekat pintu kiri belakang. Bentuk goresannya jelek sekali. Pokoknya aku harus mengadili perbuatan orang ini.

Tak kusangkan setelah membuka helm, ternyata pengendara motor itu tidak lain adalah Kara!
Kami bertengkar kecil sekitar 1 menit. Namun lama kelamaan, pembicaraan jadi lain arah. Aku mengurungkan niat untuk mengadilinya. Ia pun terlihat antusias dengan obrolan kami.

Sejak hari itu, kami mulai dekat. Setiap hari sedikitnya 3 SMS yang mampir ke handphone ku bertuliskan namanya. Aku menjalaninya dengan santai pada mulanya. Tetapi hari demi hari, aku mulai merasakan perasaan yang tidak biasa. Padahal sebelumnya aku memohon-mohon pada Tuhan agar tidak diberikan perasaan suka sedikitpun pada lelaki ini. Karena aku tahu reputasinya yang senang mempermainkan perempuan. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Aku mulai menyukainya. Bukan hanya karena ia menarik dilihat, tapi juga pribadinya juga menarik dan kami bertukar pikiran tentang hal-hal yang sangat seru.

Aku mulai merasa nyaman bila ada di dekatnya. Dan mencari-cari ketika dia tidak ada di sekelilingku. Tentu saja aku tidak memberi tahu pada siapa pun. Menurutku, aku bisa menyembunyikan dengan baik semua ini. Menyembunyikan bahwa kami sering telepon-menelepon, jalan, nonton, meskipun belum ada ikatan apa pun.

Dan teman-temanku tak menyadarinya sebelum pada suatu hari seorang teman Kara memberitahukan tentang rahasia kami. Entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba hampir semua murid satu sekolah tahu bahwasanya aku dan Kara ternyata dekat. Reaksi mereka berbeda-beda namun berbenang merah satu, kaget.

Teman-temanku dan hampir semua perempuan di sekolah ini mulai bersikap aneh kepadaku. Ternyata mereka juga membicarakanku di belakang. Semua jadi berubah. Aku tak lagi seperti dulu, periang dan banyak teman. Sahabatku pun tidak banyak berbuat dan cenderung mengurangi komunikasinya denganku. Oh, aku sangat tidak nyaman. Dan Kara tidak tahu itu sebelum aku memberitahukannya. Mungkin ia merasa tidak enak juga. Apalagi beberapa orang perempuan iseng berusaha menjauhkan aku darinya.

Aku yang sudah tak tahan dengan kondisi seperti ini, memberanikan diri untuk mengungkapkannya pada Kara. Kara terlihat kecewa. Namun ia berkata,

"Tenang aja... Ada gue di deketlo... " ungkapan macam itu sama sekali tidak melegakanku.

Dan tiba-tiba saja terucap dari mulutku,

"Kar, bagi gue, lebih baik kehilangan satu orang teman baru daripada harus dijauhi 1000 orang teman lama gue."

"Kalau mereka itu temenlo, mereka nggak akan menjauhi lo ketika lo dekat dengan teman barunya," begitulah ucapan balasannya.

Kupikir itu ada benarnya, namun entah apa yang mendorongku untuk tetap resah seperti ikan kehabisan air.

"Gue.... nggak nyaman, Kar" itulah ucapan terakhir dari mulutku.

Kami berdua terdiam. Kukira ia mengerti. Namun ia bertindak tidak sesuai keinginanku.
Malam itu ia menelepon dan memintaku untuk menjadi kekasihnya. Aku kaget bukan main. Sebelum menjawabnya, aku berpikir tentang perasaanku, masa laluku yang ceria di sekolah. Keduanya bertolak belakang. Aku hanya bisa mengalihkan pembicaraan. Dan ia mengerti itu. Ia mengerti aku menolaknya. Tetapi kita tetap berteman.

Namun ternyata hal itu malah membuat masalah baru bagiku. Semua murid perempuan yang tadinya temanku merasa tidak nyaman dekat-dekat denganku. Mereka hanya basa basi di depanku, dan menggunjingkanku di belakang. Bahkan adik kelas pun mulai berani meledekiku. Ternyata tersebar gosip bahwa aku sudah jadian dengan Kara. Karena mereka tahu Kara memintaku untuk menjadi kekasihnya. Namun mereka tidak tahu apa jawabanku. Lantas mereka menyimpulkan bahwa kami telah menjalin hubungan. Aku menolaknya habis-habisan.

Sejak saat itulah aku berpikir bahwa aku harus menepikan Kara dari kehidupanku. Dan aku melakukannya. Aku tahu dia tekejut, namun tak ada reaksi apapun darinya. Ia segera saja menghilang dari kehidupanku tanpa meninggalkan sepatah katapun.

Sejak saat itu aku tidak pernah melihatnya main basket lagi. Mungkin ia tahu aku sangat gemar melihat pertandingan basket yang dilakukan tim sekolahku. Ia tahu aku suka menonton permainan basket. Karenanya ia tak ingin membuat lelucon dan gosip lain yang meresahkan kami berdua. Kami hampir tidak pernah berpapasan. Tapi meski begitu, teman-teman masih saja belum akrab denganku lagi. Mereka tak mengerti apa yang terjadi. Aku sudah mencoba menjelaskan bahwa kami dulu hanya beteman, namun mereka tidak mempercayaiku. Aku sempat frustasi dan tidak tahan lagi.

Pada suatu waktu, sahabatku yang semula bersikap dingin padaku, mengatakan bahwa Kara jadian dengan anak kelas 1. Ketika mendengarnya, hatiku benar-benar hancur. Aku tak tahan ingin menangis. Maka aku menahannya sekuat tenaga di depan sahabatku. Setelah kami berpisah, baru aku pergi ke mobil dan menangis sejadi-jadinya. Aku masih mencintai Kara. Semakin mencinta.

Esoknya, seorang sahabat Kara yang bernama Adi menghampiriku ketika aku baru tiba di sekolah. Kami lumayan banyak mengobrol, walaupun aku agak sedikit jutek. Terakhir, ia mengatakan bahwa Kara masih mencintaiku.

Aku semakin frustasi dibuatnya. Entah itu benar atau tidak, kenyataannya Kara tidak lagi bersamaku. Ia bersama gadis lain.

Hari demi hari, teman-teman dekatku mulai sadar bahwa tidak ada apa-apa diantara aku dan Kara. Mereka mulai berteman baik lagi denganku. Semua orang di sekolah ini juga sudah tidak bersikap aneh lagi padaku. Aku mulai pulih. Namun masih tidak bisa melupakan Kara.

Suatu sore, teman-teman mengajakku menonton pertandingan basket persahabatan di lapangan basket sekolah kami. Sebenarnya aku enggan, namun kupikir Kara tidak akan ada di sana. Benar, saat aku duduk dan melihat sekeliling lapangan basket, aku tak menemukannya.

Tapi tiba-tiba saja, ia datang dari arah belakang. Lalu ia bergabung dalam tim, dan mulai bermain di sana. Teman-temanku belum menyadarinya. Sampai aku memutuskan untuk pamit ke kamar kecil. Tetapi saat aku melintas di pinggir lapangan, sekonyong-konyong bola basket itu melambung dan mengenai tubuhku. Aku mengambil bola itu. Dan tiba-tiba saja di hadapanku sudah ada Kara yang hendak mengambilnya dari tanganku.

Aku berusaha tidak bereaksi apapun. Namun ia malah tak membiarkan aku lewat dan bertanya,

"Gimana ama temen-temen? Udah baikan?"

Aku menjawab sekenanya, "Ya, gitulah..."

Aku hendak pergi tapi ia malah menatapku tajam dan tidak memberiku jalan. Aku mulai gelisah. Kurasa semua mata di sana tertuju pada kami. Entah kenapa saat itu aku benar-benar tidak kuasa menahan air mata. Maka aku langsung mendorongnya dan menghina permainan basketnya, padahal ia sudah bermain jauh dari buruk. Lalu aku berusaha lari, tetapi ia menahan tangan kiriku dan menarik tubuhku lembut. Hingga kami hampir tak berjarak.

Ia berbisik lembut di telingaku,

"Gue masih sayang sama lo"

Jantungku berdegup kencang dan segera melepaskan tanganku darinya, lalu berlari menjauhi lapangan. Aku meneteskan butiran-butiran air mata saat berlari. Aku mengerti mengapa ia menjauhiku dan memutuskan untuk jadian dengan anak kelas 1 itu. Ia ingin aku kembali ceria dan kembali berteman banyak tanpa berkeluh kesah.

Kukira awalnya memang demikian. Namun semakin ke sini aku sadar, ternyata aku semakin tidak bisa melupakannya. Dan benar-benar kehilangannya.

Maka kini, di balik jendela ini, detik ini, aku sadar...

Bahwa aku salah telah berkata lebih baik kehilangan satu orang teman dibanding 1000 orang teman lainnya...

Bahwa kiranya lebih baik aku kehilangan mereka semua yang terlihat seperti teman namun ternyata semu. Lebih baik jika satu orang ini kembali dan terus bersamanya sampai kapan pun. Dan orang ini adalah Kara.

*****

Nessun commento: