giovedì 11 dicembre 2008

Laut dan Langit


Inilah laut bagiku. Selalu tepat di bawah langit. Biru oleh refleksi langit. Tak pernah lelah mendongakkan wajahnya pada langit. Luas hampir tak terjamah. Permukaannya datar, hanya sedikit bergelombang. Angin tak seberapa menerjang. Angin hanya mendaratkan sebagian kecil ampasnya ke pantai berupa ombak-ombak.

Inilah langit bagiku. Selalu memandang rendah laut. Hanya karena ia berada di atas dan tidak akan pernah di bawah. Tertawa melihat laut yang lebih biru darinya. Padahal ia pun tak sebiru itu. Ketika ia menjadi hitam, laut pun hitam. Ia besar kepala karena laut hanya mengikutinya. Langit tak pernah datar. Ia selalu menjadi teka teki. Tak satupun makhluk yang dapat sempurna menjamahnya. Ia seperti ada, namun tiada. Angin adalah satu-satunya yang mengerti. Hanya angin yang berani mengombang-ambingkan cuacanya. Menjadi muram, sedih, bimbang, bahkan gusar. Itu sebabnya aku mengenal mendung, gerimis, hujan halilintar, hujan disaat terik, maupun badai. Tak ada yang meragukan kehebatan langit bermain peran dalam mengubah perasaan manusia. Tak seorangpun.

Inilah laut bagiku. Ada yang dangkal hingga hanya menjadi tempat muntahnya ombak. Ada yang dalam, hingga ia sibuk mengumpulkan penghuni. Gelap tanpa ada yang menerangi. Yang bersangkutan pun tidak berharap diterangi. Ia hanya butuh teman. Yang dangkal sama sekali tidak mengetahui keadaan yang dalam. Ia sudah berteman banyak. Anak-anak lebih menyukainya daripada si ”dalam”. Manusia meramaikannya saat mereka butuh semangat baru. Si dangkal terlalu mudah menghasilkan uang. Menjadi muntahan ombak petang pun tak jadi soal. Sementara si dalam yang kelam terabaikan. Makhluk paling sempurna tak sanggup menggapai dan menyentuhnya. Ia terlalu beresiko. Suapan primer manusia tidak dapat dipasoknya. Ia hanyalah tempat mayat kapal dan lava beku bersemayam. Yang keindahannya tidak tampak bagi sebagian besar orang. Namun justru minyak mentah menjadi betah bersarang di dalamnya. Komoditas nomor satu yang menjadi buron tanpa berbuat salah. Ia bosan dicari-cari dan dieksploitasi. Ia tahu ampasnya menjadi malapetaka bagi jagad raya. Maka laut pun menerimanya bermukim di dalam perutnya.

Inilah langit bagiku. Luas tiada batas. Manusia lebih tak berani menyentuh bagian-bagiannya yang tak tampak. Planet-planet dibalik panggung pertunjukan merupakan kebanggaannya. Suatu waktu, Langit pernah bertanya pada Laut,

”Kamu pernah membayangkan apa yang ada di balik wajahku yang cerah ini?”

Laut tidak menjawab. Ia tidak pernah membayangkannya sebelum ia pernah ditanya seperti itu. Detik itulah ia baru berpikir untuk menebak-nebak seperti apa langit sebenarnya. Selama ini ia hanya melihat bagian paling bawah, paling dekat dengannya, paling nyata baginya. Ia tidak tahu sekaya apa langit. Seluas apa, setinggi apa, dan serupawan apa langit sebenarnya.

Maka Laut bertanya,
”Apakah kamu lebih luas daripada aku?”

Langit tersenyum nyaris tertawa. Lalu menjawab, ”Tentu! Aku bisa melihat sebesar apa dirimu, aku bisa melihat segala hal yang tak bisa kau lihat. Aku bisa melihat dunia dari sudut mana pun yang ku mau.”


Laut kecewa dengan jawaban itu. Ia pikir selama ini dialah yang paling luas. Bumi dikuasai olehnya. Semua makhluk hidup membutuhkan airnya. Ribuan manusia mengunjunginya tiap malam hingga subuh demi mengisi perut mereka.

Lalu ia bertanya lagi,
“Apa lagi yang dapat kau lihat?“

Langit menjawab,
“Semuanya yang tidak bisa kau lihat.“

Lalu langit menjelaskan tentang bergugus-gugus bintang yang ada di baliknya, berpuluh-puluh galaksi yang terbentang tak terjamah, perang meteor, pesta komet, amuk badai, hingga partikel-partikel kecil yang malas diceritakannya pada laut. Terlalu banyak kekayaannya yang membuat manusia takjub dan terus mengaguminya karena cukup sulit mengenalinya secara utuh.

Selama ini laut hafal betul tentang dirinya yang menyimpan ratusan juta makhluk hidup beraneka ragam. Makhluk berinsang dan berparu-paru yang bernafas di dalamnya. Mencari makan, berteman, melwan musuh, bercinta. menari-nari, berpesta pora, berselingkuh, tak sadarkan diri, mengais-ngais pasir, bermain di taman anemon, dan bercerita tentang dunia di atas air. Hampir persis dengan perilaku manusia di kapal-kapal yang pernah melintasinya. Laut menyimpan banyak hal yang dibutuhkan manusia. Habitat tanaman laut, ekosistem air laut, panorama bawah laut, hingga harta karun terpendam. Sehingga manusia pun hilir mudik memanfaatkannya, menggali misteri di dalamnya, merampas keindahannya, dan bukan tidak mungkin menelantarkannya. Ia hanya hafal dua pribahasa, ‘habis manis sepah dibuang’ dan ‘air tenang menghanyutkan’. Yang pertama menjadi ketakutan terbesarnya dan yang berikutnya menjadi senjatanya. Namun laut masih percaya satu hal. Ia masih sangat bermanfaat bagi manusia. Hanya itu yang membuatnya bahagia, walaupun kerap manusia tidak membalas kepercayaannya dengan merawat dan melestarikan semua yang ada di dalamnya. Ia tahu betul manusia adalah makhluk paling sempurna dan paling egois.

Tetapi laut sama sekali belum bisa menjawab pertanyaan langit. Barangkali tak akan pernah bisa.
Maka ia pun bertanya pada langit,
”Apa kau mengetahui apa yang ada jauh di dalam tubuhku? Di dasar bumi? ”

Langit tidak jadi tersenyum puas. Kini ia berpikir keras mendapatkan jawaban untuk Laut. Tapi tidak dapat juga.

”Apakah bintang-bintangmu, planet-planetmu, dan tetek bengek di balik wajahmu menyerupai ikan yang ditangkap dan dimakan oleh manusia?”

Langit tercengang. Dan lagi-lagi berpikir keras.

”Apakah manusia tidak dapat hidup tanpa bintang-bintang dan planetmu itu?”

Langit membisu, lelah karena tidak dapat menjawab pertanyaan Laut. Dan sekejap pula ia menyadari sesuatu.

Inilah langit bagiku. Awan-awan putih berlalu lalang merubah bentuk wajahnya yang menghadap ke laut. Petir menyambar sehingga awan menangis di bahu laut. Langit tahu lautlah yang menampung keluh kesah awan. Langit hanyalah tempat bersandar sementara bagi awan putih. Awan putih yang menjadi kelabu karena mulai bosan di atas sana. Awan putih yang akan kembali ke kampung halamannya, laut.

Seharusnya Laut maupun Langit menyadari, pada malam, subuh, dan pada titik tertentu sejauh pandangan mata manusia, mereka menyatu. Tiada batas.